BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah lahirnya Bimbingan dan Konseling di Indonesia diawali dari dimasukkannya Bimbingan dan Konseling (dulunya Bimbingan dan Penyuluhan) padasetti n g sekolah. Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu hasil Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20 – 24 Agustus 1960. Perkembangan berikutnya tahun 1964 IKIP Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Tahun 1971 beridiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP Menado. Melalui proyek ini Bimbingan dan Penyuluhan dikembangkan, juga berhasil disusun “Pola Dasar Rencana dan Pengembangan Bimbingan dan Penyuluhan “pada PPSP. Lahirnya Kurikulum 1975 untuk Sekolah Menengah Atas didalamnya memuat Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan.
B. Rumusan Masalah
Dalam pebahasan tentang makalah ini,penyusun merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
- Sejarah perkembangan gerakan bimbingan konseling
- Pra lahirnya pola 17
C. Tujuan penulisan
Dengan adanya layanan bimbingan konseling yang sudah beredar dikalangan masyarakat, dan layanan nya sudah bias dirasakan oleh orang banyak, semoga dengan adanya layanan bimbingan konseling ini dapat memudahkan mengentaskan dan mengembangkan apa yang sedang dirasakan oleh orang tersebut. Kemudian mengembangkan peserta didik dalam kehidupan social, jika tidak dikembangkan dapat menjadi masalah social dalam peserta didik itu sendiri. Contohnya, Mengembangkan ketrampilan berkomunikasi , sehingga dengan adanya pengembangan komunikasi kita dapat melatih peserta didik untuk berpicara dengan tangkas dan sopan sehingga dapat didengarkan dan direspon orang lain dengan baik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Perkembangan Gerakan Bimbingan konseling
Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan system pendidikan di Indonesia semakin dirasakan pula kebutuhan akan adanya pelayanan khusus bimbingan dan konseling, baik disekolah maupun diluar sekolah.Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu mereka memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan tanpa memandang latar belakangnya .Akibatnya, sekolah harus menampung semua anak yang beraneka tingkat kemampuan, bakat, minat dan berbagai latar belakang.
Pengembagan dan pembaharuan di bidang pendidikan tidak hanya berlangsung pada tingkat pendidikan dasar, tetapi juga pada tingkat pendidikan menegah dan perguruan tinggi. Pada tahun 1960 (tepatnya tanggal 20-24 agustus 19) diadakan konferensi fakultas keguruan ilmu pendidikan (disingkat FKIP atau sekarang IKIP) di mlang untuk membantu masalah . Salah satu hasil dari koferensi itu ialah dimasukkannya ke dalam Pendidiakan di Indonesia apa yang sekarang disebut ‘’bimbingan konseling’’.inilah langkah awal perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia. Pada tahun 1964 diikuti dengan pendirian jurusan bimbingan dan penyuluhan dibeberapa IKIP di Indonesia ( antara lain IKIP Bandung dan IKIP Malang). Pada tahun berikutnya disusul oleh IKIP/ FKIP lain. Selanjutnya mulai tahun 1984/1985 jurusan bimbingan dan penyuluhan menjelma menjadi jurusan psikologi pendidikan dan bimbingan ( disingkat PPB), yang meliputi dua program studi yaitu program – program studi psikologi pendidikan dan program studi bimbingan dan konseling. Pada awal 1980-an di IKIP Bandung dan IKIP Malang mulai dibuka program pasca sarjana bimbingan dan konseling.
Selama perkembangan sejak awal sampai dewasa ini terdapat beberapa peristiwa penting yang menjadi tonggak – tonggak sejarah perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia, yaitu:
1. Tahun 1971
Berdirinya proyek perintis sekolah pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP, yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Malang,IKIP SURABAYA, DAN IKIP Malang.
2. Tahun 1975
Lahir dan berlakunya kurikulum sekolah menengah umum yang disebut kurikulum SMA 1975 sebagai pengganti kurikulum sebelumnya (kurikulum 1968). Kurikulum 1975 memuat beberapa pedoman pelaksanaan kurikulum tersebut , yang salah satu diantaranya adalah buku Pedoman Bimbingan Konseling.
3. Tahun 1975
Diadakan konvensasi Nasional Bimbingan I di Malang. Konvensasi ini berhaasil menularkan beberapa keputusan penting, yaitu :
1. Terbentuknya organisasi profesi Ikatan petugas bimbingan Indonesia (IPBI).
2. Tersusunnya AD/ART/IPBI, kode etik jabatan konselor dan program kerja IPBI periode 1976-1978, selanjutnya konvensasi ini oleh beberapa kali konvensasi dank ogres, yang diadakan sacara berturut – turut di salatiga, Semarang, Bandung, Yogyakarta, Denpasar, dan padang.
4.Tahun 1978
Diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA bimbingan dan penyuluhan sebagai auatu upaya pengangkatan tamatan jurusnan … yang telah dihasilkan oleh IKIP tetapi belum ada jatah jabatannya,… disamping untuk mengisi kekosongan jabaatan guru bimbingan disekolah . Agaknya tamatan program – program itulah yang pertama kali diangkat sebagai konselor atau guru bimbingan di sekolah.
5. Tahun 1989
Lahirnya surat Keputusan Menteri Pedayagunaan Aparatur Negara No.026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalam Kepmen terseut ditetapkan secara resmi adanya kegiatan pelayanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah. Disamping itu disinggung pula adanya pengaturan kenaikan pangkat jabatan guru pembimbing kendatipun tidak begitu tegas.
6. Tahun1989
Lahurnya Undang – Undang Republik Indonesia No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang – Undang ini selanjutnya disusul dengan lahirnya peraturan Pemerintah (PP) No.28 dan 29 yang secara tegas mencantumkan adanya pelayanan bimbingan dan konseling pada satuan – satuan pendidikan (masing – masing Bab x pasal 25, BAb x pasal 27).
7. Tahun 1991 s.d. 1993
1. Dibentuk divisi – divisi dalam IPBI, yaitu :
a. Ikatan Pendidikan Konselor Indonesia ( IPKON)
b. Ikatan Guru Pembimbing Indonesia (IGPI)
c. Ikatan Sarjana Konseling Indonesia (ISKIN)
2. Diperjuankan oleh IPBI jabatan fungsional tersendiri bagi petugas bimbingan di sekolah. Diyakini apabila jabatan fungsional tersendiri itu terwujud, maka upaya profesionalisasi pelayanan bimbingandan konseling akan lebih terjamin untuk dapat terlaksana denagan berhasil.
Suatu pekerjaan dinamakan profesiapabila pekerjaan itu memenuhi sejumlah cirri atau persyaratan, baik dilihat dari funsi dan maknanya, penampilan kegiatannya terhadap sasaran layanan, dasar – dasar keilmuan yang dimilikinya, kompetensi para pekerjanya, penyiapan para calon pekerjaan untuk mampu menyelenggarakan pekerjaan itu, kode etiknya serta sikap para pekerja terhadap pengembangan pekerjaan itu. Berkenaan denagan cirri atau syarat – syarat tersebut diyakini pelayanan bimbingan dan konseling merupakan pekerjaan professional.
Untuk mengembangkan pelayanan bimbingan dan konseling menjadi pekerjaan professional memerlukan upaya – upaya tersebut, bahkan perjuangan. Perumusan untuk pekerja professional merupakan upaya pokok untuk memberikan pedoman tentang hal – hal apasaja yang harus dilakukan oleh seorang konselor professional dalam memberikan jasa kepada sasaran layanannya.Pembinaan dan pengembangan unjuk kerja tersebut sampai benar – benar dikuasai oleh (calon) konselor diselenggarakan melalui program pendidikan konselor, baik pendidikan prajabatan maupun jabatan.
Program akreditasii, sertifikasi dan lisensi merupakan upaya agar pelayanan bimbingan dan konseling itu benar – benar professional, sejak dari pendidikan konselornya sampai kepada penempatannya dilapangan kerja, baik dilembaga – lembaga pemerintah maupun non – pemerintah.Organisasi profesi dalam mengupayakan profesionalitas anggota dan pelayanannya, melalui pelaksanaan tridarmanya, yaitu pengembangan ilmu, pengembangan pelayanan, dan penegakan kode etik. Ketiga darma organisasi profi perluu berjalan serempak apabila organisasi itu perlu benar – benar taat asas dengan profesionalnya.
Gerakan bimbingan di Indonesia dimulai dengan memasukkan upaya bimbingan dan penyuluhan kedunia persekolahan. Gerakan ini berkembang dan makin kuat keberadaannya disekolah. Hal itu sudah dikuatkan oleh peraturan perundangan yang berlaku dalam rangka pendidikan nasional.
Organisasi profesi bimbingan , yaitu IPBI juga semakin kuat, teratur dengan terbentuknya divisi – divisi di lingkungan IPBI, yaitu, IPKOM, IGPI, IPBI juga dengan sekuat tenaga melaksanakanketiga tridarma organisasi profesi.
B. Pra Lahirnya Pola 17
Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan berdampak pada buruknya citra bimbingan dan konseling, sehingga melahirkan miskonsepsi terhadap pelaksanaan BK, munculnya persepsi negatif terhadap pelaksanaan BK, berbagai
kritikan muncul sebagai wujud kekecewaan atas kinerja Guru Pembimbing sehingga terjadi kesalahpahaman, persepsi negatif dan miskonsepsi berlarut. Masalah menggejala diantaranya: konselor sekolah dianggap polisi sekolah, BK dianggap semata-mata sebagai pemberian nasehat, BK dibatasi pada menangani masalah yang insidental, BK dibatasi untuk klien-klien tertentu saja, BK melayani ”orang sakit” dan atau ”kurang normal”, BK bekerja sendiri, konselor sekolah harus aktif sementara pihak lain pasif, adanya anggapan bahwa pekerjaan BK dapat dilakukan oleh siapa saja, pelayanan BK berpusat pada keluhan pertama saja, menganggap hasil pekerjaan BK harus segera dilihat, menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien, memusatkan usaha BK pada penggunaan instrumentasi BK (tes, inventori, kuesioner dan lain-lain) dan BK dibatasi untuk menangani masalah-masalah yang ringan saja
Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan disebabkan diantaranya oleh hal-hal sebagai berikut :
1. Belum adanya hukum
Sejak Konferensi di Malang tahun 1960 sampai dengan munculnya Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP Bandung dan IKIP Malang tahun 1964, fokus pemikiran adalah mendesain pendidikan untuk mencetak tenaga-tenaga BP di sekolah. Tahun 1975 Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang berhasil menelurkan keputusan penting diantaranya terbentuknya Organisasi bimbingan dengan nama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI). Melalui IPBI inilah kelak yang akan berjuang untuk memperolah Payung hukum pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah menjadi jelas arah kegiatannya.
2. Semangat luar biasa untuk melaksanakan BP di sekolah
Lahirnya SK Menpan No. 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Merupakan angin segar pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah. Semangat yang luar biasa untuk melaksanakan ini karena di sana dikatakan “Tugas guru adalah mengajar dan/atau membimbing.” Penafsiran pelaksanaan ini di sekolah dan didukung tenaga atau guru pembimbing yang berasal dari lulusan Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan atau Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (sejak tahun 1984/1985) masih kurang, menjadikan pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas. Lebih-lebih lagi dilaksanakan oleh guru-guru yang ditugasi sekolah berasal dari guru yang senior atau mau pensiun, guru yang kekurangan jam mata pelajaran untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Pengakuan legal dengan SK Menpan tersebut menjadi jauh arahnya terutama untuk pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah.
3. Belum ada aturan main yang jelas
Apa, mengapa, untuk apa, bagaimana, kepada siapa, oleh siapa, kapan dan di mana pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan dilaksanakan juga belum jelas. Oleh siapa bimbingan dan penyuluhan dilaksanakan, di sekolah banyak terjadi diberikan kepada guru-guru senior, guru-guru yang mau pensiun, guru mata pelajaran yang kurang jam mengajarnya untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Guru-guru ini jelas sebagian besar tidak menguasai dan memang tidak dipersiapkan untuk menjadi Guru Pembimbing. Kesan yang tertangkap di masyarakat terutama orang tua murid Bimbingan Penyuluhan tugasnya menyelesaikan anak yang bermasalah. Sehingga ketika orang tua dipanggil ke sekolah apalagi yang memanggil Guru Pembimbing, orang tua menjadi malu, dan dari rumah sudah berpikir ada apa dengan anaknya, bermasalah atau mempunyai masalah apakah. Dari segi pengawasan, juga belum jelas arah dan pelaksanaan
pengawasannya.
Selain itu dengan pola yang tidak jelas tersebut mengakibatkan:
1.Guru BP (sekarang Konselor Sekolah) belum mampu mengoptimalisasikan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan terhadap siswa yang menjadi tanggungjawabnya. Yang terjadi malah guru pembimbing ditugasi mengajarkan salah satu mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Kesenian, dsb.nya.
2. Guru Pembimbing merangkap pustakawan, pengumpul dan pengolah nilai siswa dalam kelas-kelas tertentu serta berfungsi sebagai guru piket dan guru pengganti bagi guru mata pelajaran yang berhalangan hadir.
3. Guru Pembimbing ditugasi sebagai “polisi sekolah” yang mengurusi dan menghakimi para siswa yang tidak mematuhi peraturan sekolah seperti terlambat masuk, tidak memakai pakaian seragam atau baju yang dikeluarkan dari celana atau rok.
4. Kepala Sekolah tidak mampu melakukan pengawasan, karena tidak memahami program pelayanan serta belum mampu memfasilitasi kegiatan layanan bimbingan di sekolahnya,
5. Terjadi persepsi dan pandangan yang keliru dari personil sekolah terhadap tugas dan fungsi guru pembimbing, sehingga tidak terjalin kerja sama sebagaimana yang diharapkan dalam organisasi bimbingan dan konseling.
Kondisi-kondisi seperti di atas, nyaris terjadi pada setiap sekolah
di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan adanya layanan bimbingan konseling yang berkembangan sampai saat ini, dapat ditemukan beberapa manfaat bagi peserta didik maupun bagi masyarakat luas umumnya.sehingga semua orang dapat mengikuti proses layanan konseling guna untuk mengembangkan dan mengentaskan berbagai konflik yang ada pada diri seseorang tersebut,
B. Saran
Semoga dengan adanya pelayanan bimbingan konseling yang berkembang saat ini baik disekolah maupun dikalangan masyarakat dapat dimanfaatkan dengan sebaik – baiknya. Dengan adanya semua layanan yang diberikan, dapat membuat diri seseorang itu tidak salah memilih atau salah menentukan apa yang menjadi keinginan maupun yang mencadi cita – cita yang diiginkan nya.
DAFTAR PUSTAKA
Proyitno, 1999, Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling
di Sekolah,Dra ft
Prayitno, Sunaryo Kartadinata, Ahman, 2002, Profesi dan Organisasi
Profesi Bimbingan dan Konseling, Departemen Pendidikan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar