Rabu, 05 Desember 2012

konseling lintas budaya


BAB II
PEMBAHASAN
KERANGKA KERJA KOMPETENSI KONSELING LINTAS BUDAYA DAN ETIKA KONSELING LINTAS BUDAYA
2.1.Kompetensi dan Standar Konseling Lintas Budaya
A.    Kompetensi Konselor Litas Budaya
Sue & Sue (1990) mengorganisir karakteristik konselor dalam tiga dimensi :
1.      Konselor yang berketarampilan budaya adalah seorang yang aktif berproses menjadi sadar terhadap anggapan-anggapannya tentang tingkah laku manusia, nilai-nilai, bias-bias, keterbatasan pribadi, dan sebagainya.
2.      Konselor yang berketerampilan budaya adalah seorang yang aktif memahami pandangannya terhadap perbedaan budaya klien tampa penilaian yang negative
3.      Konselor yang berketerampilan budaya adalah seorang yang aktif dalam proses pengembangan dan menerapkan secara tepat, televan, dan sensitif menggunakan startegi dan keterampilan intervensi sesuai dengan perbedaan budaya klien
B.     Dimensi Kompetensi Kultural
Kompetensi konseling lintas budaya terbagai atas tiga dimensi yaitu :
1.      Keyakinan dan sikap
Keyakinan dan sikap konselor terhadap ras dan etnis minoritas, kebutuhan meneliti bias-bias dan steriotipe, pengembagan menuju orentasi positif multikulturalisasi, nilai-nilai dan bias-bias konselor yang menghalangi efektifitas konseling lintas budaya
2.      Pengetahuan
Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap cara pandangnya sendiri, memiliki pengetahuan khusus tentang budaya kelompok partner kerjannya, memahami pengaruh sosiopolotik
3.      Keterampilan
Memiliki keterampilan khusus bekerja kelompok minoritas
Kompetensi-kompetensi konseling litas budaya : sebuah kerangka kerja konseptual. Pembahasan kompetensi konselor lintas budaya dikembangkan atas kemungkinan 3 karakteristik X 3 dimensi sebagai dasar matrik pengembangan, dalam tiga karakteristik tersebut memiliki tiga dimensi dengan demikian secara keseluruhan terdapat sembilan kompetensi konselor litas budaya, untuk lebih jelas sebagai berikut :
1.      Kesadaran Konselor Terhadap Asumsi-Asumsi, Nilai, Bias-Biasnya Sendiri
a.       Keyakinan dan sikap
1)      Konselor lintas budaya harus mengubah ketidaksadarannya menuju kesadaran budaya serta cukup sensitif terhadap warisan budaya sendiri untuk menilai dan menghormati perbedaan-perbedaan.
2)      Konselor lintas budaya menyadari bagaimana latar belakang budaya dan pengalaman, sikap, nilai-nilai, dan bias-bias berpengaruh pada proses psikologis.
3)      Konselor lintas budaya dapat mengenali keterbatasan kompetensi kliennya
4)      Konselor lintas budaya menikmati perbedaan dirinya dengan klien mencakup ras, etnis, budaya, maupun kepercayaan
b.      Pengetahuan
1)      Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan khusus tentang rasial, warisan budaya, dan bagaimana hal tersebut secara pribadi dan secara profesional mempengaruhi pengertian-pengertiannya, bias-bias normalitas-abnormalitas, serta proses konseling
2)      Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana tekanan, rasial, deskriminasi dan striotipe mempengaruhi pribadi dan kerjanya
3)      Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan dampak sosialnya berpengaruh pada orang lain. Mereka tahu tentang perbedaan gaya komunikasi, bagaimana gayanya bertentangan atau menunjang proses konselingnya, dan tahu bagaimana mengantisifasi akibat-akibatnya pada orang lain
c.       Keterampilan
1)      Konselor lintas budaya mencari bidang pendidikan, konsultasi, dan pengalaman pelatihan dalam memperkaya pemahamannya dan efektifitas kerjannya dalam populasi budaya yang berbeda. Untuk mengenali keterbatasan kopetensinya mereka harus: berkonsultasi, studi atau latihan lanjutan, menjadi lebih berkualifikasi, terlibat dalam tiga aspek tersebut
2)      Konselor lintas budaya secara konstan mencari pemahaman dirinya sebagai rasial, berbudaya dan secara aktif mencari identitas non rasial
2.      Pemahaman cara pandang terhadap perbedaan budaya klien
a.       Keyakinan dan sikap
1)      Konselor lintas budaya menyadari reaksi emosional negatifnya terhadap ras maupun eknik lain yang terbukti murugikan proses konseling
2)      Konselor litas budaya menyadari streotipenya dan preconcelved Notions mempengaruhi rasial dan kelompok minoritas lainnya
b.       Pengetahuan
1)      Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan khusus dan informasi tentang kelompok tertentu dari klien yang sedang dihadapinya
2)      Konselor lintas budaya memahami bagaimana ras, budaya, etnis, berpengaruh pada pembentukan pribadi, pemilihan pekerjaan, ganguan psikologis, ketepatan dan ketidaktepatan pendekatan konseling
3)      Konselor lintas budaya memahami dan memiliki pengetahuan tentang pengaruh sosiopolitik yang berbenturan dengan kehidupan ras tertentu maupun etnis minoritas
c.       Keterampilan
1)      Konselor lintas budaya cukup mengenal riset yang relevan dan penemuan mutakhir tentang kesehatan mental, gangguan mental pada berbagai ras dan etnis
2)      Konselor lintas budaya aktif terlibat dengan individu dari minoritas tertentu diluar seting konseling
3.      Pengembangan strategi intervensi dan teknik-teknik yang tepat
a.       Keyakinan dan sikap
1)      Konselor lintas budaya menghargai keagamaan dan keyakinan klien serta keyakinan dan nilai-nilai fungsi-fungsi fisik dan mental
2)      Konselor lintas budaya menghormati praktek-praktek bantuan pribumi menghormati jaringan bantuan intrinsik masyarakat minoritas
3)      Konselor lintas budaya menghormati ke-dwibahasaan dan tidak memandang bahasa lain sebagai halangan untuk konseling
b.      Pengetahuan
1)      Konselor lintas budaya mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang jelas, eksplisit tentang karakteristik umum konseling dan terapi dan bagaimana jika dia bertentangan dengan nilai-nilai budaya dari berbagai kelompok minoritas
2)      Konselor lintas budaya sadar akan hambatan secara lembaga yang menghambat para kaum minoritas memanfaatkan layanan kesehatan mental
3)      Konselor lintas budaya mempunyai pengetahuan tentang potensi bias alat-alat pengukuran dan menggunakan prosedur, mengiterprestasi temuan berdasar budaya dan karakteristik bahasa klien
4)      Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan tentang struktur keluarga para minoritas, herarki, nilai-nilai, dan keyakinan
5)      Konselor lintas budaya sadar akan relevansi perbedaan praktek-praktek pada tingkat sosial dan komunitas tertentu yang memungkinkan mempengaruhi kesejahteraan psikologis populasi yang mendapat pelayanan
c.       Keterampilan
1)      Konselor lintas budaya memiliki keterampilan dalam berbagai macam respon verbal maupun nonverbal, mereka dapat mengirim dan menerima respon verbal maupun non verbal secara akurat dan tepat. Dia juga dapat mengatisipasi akibat negatif keterbatasan dan ketidaktepatan cara/gaya bantuannya
2)      Konselor lintas budaya dapat melatih keterampilan intervesi secara lembaga atas nama kliennya. Mereka dapat membnatu klien menentukan masalah mana yang bersumber dari rasisme, atau bias-bias lain, sehingga klien secara tidak tepat menyalahkan dirinya
3)      Konselor lintas budaya tidak menentang untuk mencari konsultasi secara tepat dengan para penyembuh tradisional, para religius, para pemimpin agama, para praktisi, dalam proses tretmennya pada klien yang berbeda budaya
4)      Konselor lintas budaya bertanggung jawab atas interaksi dalam bahasa-bahasa yang diminta klien; hal ini juga memungkinkan reveral ke pihak luar secara tepat. Permasalahan yang sering muncul adalah konselor tidak memiliki kemampuan bahasa sesuai dengan klien. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan:
a)      mencari terjemah yang memiliki pengetahuan bahasa dan latar belakang profesi yang tepat
b)      Menunjuk konselor yang cakap dalam dwibahasa
5)      Konselor lintas budaya memiliki keahlian dalam menggunakan intrumen testing dan pengukuran tradisional
6)      Konselor lintas budaya dapat menghadirkan dan juga menghilangkan bias, prasangka, dan praktek-praktek diskriminasi
7)      Konselor lintas budaya bertanggungjawab membelajarkan klien dalam prose intervensi psikologi seperti tujuan, harapan, keabsahan, dan orentasi konselor.
8)      Pendekatan Emic dan Etic
2.2.Etika Konseling Lintas Budaya
Dalam praktik sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin disamakan dalam penanganannya (Prayitno, 1994). Perbedaan perbedaan ini memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan perasaan negatif lainnya.
Hal lain yang berhubungan dengan definisi konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat bekerja sama dengan klien? Dalam melakukan hubungan konseling dengan klien, maka konselor sebaiknya bisa memahami klien seutuhnya.
Pemahaman mengenai budaya spesifik yang dimiliki oleh klien tidak akan terjadi dengan mudah. Untuk hal ini, konselor perlu mempelajarinya dari berbagai Sumber yang menunjang seperti literatur atau pengamatan langsung terhadap budaya klien.
Memahami keunikan klien mengandung pengertian bahwa klien sebagai individu yang selalu berkembang akan membawa nilai nilai sendiri sesuai dengan tugas perkembangan-nya.
Memahami manusia secara universal mengandung pengertian bahwa nilai nilai yang berlaku di masyarakat ada yang berlaku secara universal atau berlaku di mana saja kita berada.
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal.
Adapun faktor faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi proses konseling lintas budaya adalah :
1.      Keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tempat tinggal
2.      Variabel status seperti pendidikan, politik dan ekonomi, serta variabel etnografi seperti agama, adat, sistem nilai.





















BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa, etika dalam konseling lintas budaya seperti:
1.      Tidak menyamaratakan penanganan masalah klien yang berbeda latar belakang budaya.
2.      Konselor dank lien harus saling bekerjasama,
3.      Konselor harus memahami keunikan klien.
4.      Konselor harus memahami manusia secara universal.
5.      Konselor perlu menyadari nilai-nilai yang berlaku secara umum
3.2.Saran
Makalah ini dapat digunakan sebagai bahan sebelum kita melakukan praktek di lapangan, agar kita dapat memberikan bantuan sesui dengan etika konseling.











DAFTA PUSTAKA
Arik Aryanto. 2011. Etika Konseling Lintas Budaya. http://aaryant.blogspot.com. 20 Oktober 2011.
Psikologi UNP09b. 2011. Psikologi Lintas Budaya dan Perilaku Sosial. http://psikology09b.blogspot.com. Jum’at, 18 Maret 2011.

Sabtu, 10 November 2012

evaluasi dan akuntabilitas BK


BAB II
PEMBAHASAN
PENGEMBANGAN INSTRUMEN BK UNTUK ASPEK UCA (UNDERSTANDING, COMFORT AND ACTION)
I.       Penilaian UCA (understanding, Comfort dan Action)
Berdasarkan Permendinas No. 20 tahun 2007, konsep tentang penilaian dijabarkan sebagai “Proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik”. Dalam pengertian ini, penilaian merupakan suatu kegiatan yang memiliki tahapan tertentu (berproses : mekanisme, prosedur, dan instrument yang digunakan), dengan mengetengahkan pengumpulan dan pengolahan akan berbagai informasi.
Penilaian ditujukan kepada perolehan siswa (klien) yang menjalani layanan BK. Secara lebih khusus, perolehan klien dari layanan yang dijalaninya itu dapat di definisi melalui berkembangnya pemahaman baru, perasaan positif, dan rencana kegiatan yang akan dilakukan klien pada periode pasca layanan, atau menurut istilah Brammer & Shostrom (1982) : understanding, comfort, and action. (prayitno, 2000 dalam buku panduan umum penilaian hasil layanan bimbingan dan konseling)
Tiga komponen perolehan hasil layanan tersebut (yaitu pemahaman, perasaan dan kegiatan) terutama dapat diidentifikasi sebagai hasil layanan dengan klien yang bersifat perorangan, yaitu layanan konseling perorangan layanan konseling kelompok, dan layanan penempatan penyaluran, serta layanan-layanan lain (layanan orientasi, informasi, penguasaan konten, dan bimbingan kelompok) yang dijalani individu sebagai klien. Di samping itu, penilaian yang berfokus kepada pengentasan masalah ataupun perolehan klien secara lebih komprehensif dapat dilakukan terutama setelah klien klien menjalani satu jenis atau berbagai jenis layanan dalam waktu yang lebih lama atau dalam satu periode waktu tertentu.
Penilaian UCA ini merupakan focus dari penilaian segera, yaitu penilaian pada akhir setiap jenis layanan dan kegiatan pendukung konseling untuk mengetahui perolehan peserta didik yang dilayani.

II.    Pengembangan Instrumen BK untuk Aspek Pemahaman (understanding)
Penilaian pada aspek pemahaman (understanding) merupakan penilaian mengenai pemahaman baru tentang sesuatu yang didapat oleh klien setelah mengikuti kegiatan layanan. Dalam aspek pemahaman ini, konselor dapat mengajukan pertanyaan seperti:
1.      Informasi baru apa yang diperoleh klien?
2.      Pengetahuan baru apa yang diperoleh klien?
Pemahaman murid yang mencakup pemahaman tentang potensi, kemampuan, karakteristik, kebutuhan dan masalah-masalah yang dihadapinya. Pemahaman tersebut akan menjadi dasar memilih alternatif strategi dan teknik bimbingan yang diberikan kepada murid tersebut. Pelaksanaan pemahaman individu dalam kegiatan bimbingan dan konseling berkaitan erat dengan fungsi dari bimbingan dan konseling itu sendiri.
A.    Teknik Tes
Teknik tes atau sering disebut testing merupakan usaha pemahaman murid dengan menggunakan alat-alat yang bersifat mengukur atau mentes.
Secara keseluruhan macam tes untuk untuk keperluan bimbingan dan konseling, dikelompokkan ke dalam tiga kelompok tes, yaitu: tes kecerdasan, tes bakat dan tes hasil belajar.
1.      Tes Kecerdasan
Kecerdasan dapat diartikan sebagai kemampuan berpikir yang bersifat abstrak. Dapat juga diartikan sebagai kemampuan umum individu untuk berperilaku yang jelas tujuannya; berpikir rasional; dan berhubungan dengan lingkungannyasecara efektif (Shertze & Stone, 1971 : 239)
2.      Tes Bakat
Tes bakat mengukur kecerdasan potensial yang bersifat khusus murid. Ada dua jenis bakat, yaitubakat sekolah dan bakat pekerjaan-jabatan. Bakat sekolah berkenaan dengan kecakapan potensial khusus yang mendukung penguasaan bidang-bidang ilmu atau mata pelajaran. Sedangkan bakat pekerjaan-jabatan berkenaan dengan kecakapan potensial khusus yang mendukung keberhasilan dalam pekerjaan.
3.      Tes Hasil Belajar
Shertzer & Stone (1971: 235) mengemukakan bahwa penggunaan teknik tes khususnya tes prestasi belajar bagi guru MI / SD bertujuan untuk:
a.       Menilai kemampuan belajar murid
b.      Memberikan bimbingan belajar kepada murid
c.       Mengecek kemajuan belajar murid
d.      Memahami kesulitan-kesulitan belajar murid
e.       Memperbaiki teknik mengajar guru
f.       Menilai efektifitas (keberhasilan) mengajar guru
Tes prestasi belajar ini disusun untuk mengukur hasilpembelajaran atau kemajuan belajar murid. Tes ini meliputi:
1.      Tes diagnostik, yang dirancang agar guru dapat menentukan letak kesulitan murid, dalam mata pelajaran yang diajarkan
2.      Tes prestasi belajar kelompok yang baku
3.      Tes prestasi belajar yang disusun oleh para guru, misalnya dalam bentuk ulangan sehari-hari.
B.     Teknik non tes
Teknik non-tes merupakan prosedur pengumpulan data yang dirancang untuk memahami pribadi murid, yang ada umumnya bersifat kualitatif. Teknik ini terdiri atas beberapa macam jenis, seperti:
1.      Observasi (pengamatan)
Memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Dilakukan sesuai dengan tujuan yang dirumuskan terlebih dahulu
b.      Direncanakan secara sistematis
c.       Hasilnya dicatat dan diolah sesuai dengan tujuan
d.      Perlu diperiksa ketelitiannya
teknik observasi dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis:
a.       Observasi sehari-hari (daiily observation)
b.      Observasii sistematis (systematic observation)
c.       Observasi partisipatif (participative observation)
d.      Observasi non-partisipasif (non participative observation)
2.      Wawancara (interview)
Wawancara merupakan teknik untuk mengumpulkan informasi melalui komunikasi langsung dengan responden (orang yang minta informasi)
3.      Catatan Anekdot
Catatan anekdot, yaitu catatan otentik hasil observasi. Dengan mempergunakan catatan anekdot, guru dapat:
a.       Memperoleh pemahaman yang lebih tepat tentang perkembangan murid.
b.      Memperoleh pemahaman tentang penyebab dari gejala tingkah laku murid.
III. Pengembangan Instrumen BK untuk Aspek Afektif (Comfort)
Penilaian pada aspek afektif (comfort) merupakan aspek yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Aspek afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku. Seperti: perhatiannnya terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam, kedisiplinannya dalam mengikuti mata pelajaran agama disekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran agama Islam yang di terimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru pendidikan agama Islam dan sebagainya.
Dalam penilaian aspek afektif ini konselor dapat menanyakan perasaan positif apa yang diperoleh oleh klien setelah melaksanakan kegiatan layanan, seperti rasa puas, lega, plong, tambah ringan, dll).
Ada 11 langkah dalam mengembangkan instrument penilaian afektif, yaitu:
1.      menentukan spesifikasi instrument
2.      menulis instrument
3.      menentukan skala instrument
4.      menentukan pedoman penskoran
5.      menelaah instrument
6.      merakit instrument
7.      melakukan ujicoba
8.      menganalisis hasil ujicoba
9.      memperbaiki instrument
10.  melaksanakan pengukuran
11.  menafsirkan hasil pengukuran
Ditinjau dari tujuannya ada lima macam instrumen pengukuran aspek afektif, yaitu(Depdiknas 2008):
1.      Instrumen sikap, yaitu berhubungan dengan suka atau tidaksukanya terhadap pelajaran yang kita berikan.
2.      Instrumen minat, yaitu berhubungan dengan keinginan atau kecenderungan hati siswa terhadap pelajaran yang kita berikan
3.      Instrumen konsep diri, yaitu berhubungan dengan pengenalan siswa terhadap kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri.
4.      Instrumen nilai, yaitu berhubungan dengan pandangan dan perilaku siswa tentang mana yang baik dan mana yang buruk.
5.      Instrumen moral, yaitu berhubungan dengan perasaan salah atau benar siswa terhadap orang lain maupun diri sendiri.
Ada beberapa cara yang dipakai untuk menilai aspek afektif peserta didik, yaitu :
1.      Pengamatan langsung di lapangan (di dalam kelas) oleh guru.
2.       Melalui angket atau kuesioner yang dibagikan kepada peserta didik.
3.      Melakukan wawancara langsung dengan pesertadidik.
4.      Melalui informasi dari rekan guru atau dari BK(Bimbingan Konseling) di Sekolah.
5.      Melalui kunjungan ke rumah peserta didik.
Adapun instrument BK yang dapat dipergunakan untuk menilai aspek afektif ini, yaitu:
1.      Observasi,
2.      Angket atau kuestioner, dan
3.      Wawancara,
IV. Pengembangan Instrumen BK untuk Aspek Perbuatan (Action)
Penilaian pada aspek action (aspek perbuatan), dalam kegiatan konseling dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan seperti:
1.      Setelah selesai konseling bisa menghasilkan apa?
2.      Apa yang akan dilakukan atau dilaksanakan untuk mengatasi masalah?
Ryan (1980) menjelaskan bahwa hasil belajar keterampilan atau perbuatan  dapat diukur melalui:
1.      Pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik berlangsung,
2.      Sesudah mengikuti pembelajaran, yaitu dengan jalan memberikan tes kepada peserta didik untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap,
3.      Beberapa waktu sesudah pembelajaran selesai dan kelak dalam lingkungan kerjanya.
Sementara itu Leighbody (1968) berpendapat bahwa penilaian hasil belajar keterampilan atau perbuatan mencakup:
1.      Kemampuan menggunakan alat dan sikap kerja,
2.      Kemampuan menganalisis suatu pekerjaan dan menyusun urut-urutan pengerjaan,
3.      Kecepatan mengerjakan tugas,
4.      Kemampuan membaca gambar dan atau simbol,
5.      Keserasian bentuk dengan yang diharapkan dan atau ukuran yang telah ditentukan.
Dari penjelasan di atas dapat dirangkum bahwa dalam penilaian hasil belajar keterampilan atau perbuatan harus mencakup persiapan, proses, dan produk. Penilaian dapat dilakukan pada saat proses berlangsung yaitu pada waktu peserta didik melakukan praktik, atau sesudah proses berlangsung dengan cara mengetes peserta didik.
Penilaian perbuatan dapat dilakukan dengan menggunakan observasi   atau pengamatan. Observasi  sebagai alat penilaian banyak digunakan untuk mengukur tingkah laku individu ataupun proses terjadinya suatu kegiatan yang dapat diamati, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi buatan. Dengan kata lain, observasi dapat mengukur atau menilai hasil dan proses belajar atau perbuatan. Misalnya tingkah laku peserta didik ketika praktik, kegiatan diskusi peserta didik, partisipasi peserta didik dalam simulasi, dan penggunaan alins ketika belajar.
Observasi  dilakukan pada saat proses kegiatan itu berlangsung. Pengamat terlebih dahulu harus menetapkan kisi-kisi  tingkah laku apa yang hendak diobservasinya, lalu dibuat pedoman agar memudahkan dalam pengisian observasi. Pengisian hasil observasi dalam pedoman yang dibuat sebenarnya bisa diisi secara bebas dalam bentuk uraian mengenai  tingkah laku   yang tampak  untuk diobservasi, bisa pula dalam bentuk memberi tanda cek (√) pada kolom jawaban hasil observasi.
Tes untuk mengukur aspek perbuatan adalah tes untuk mengukur penampilan atau kinerja (performance) yang telah dikuasai oleh peserta didik. Tes tersebut   dapat berupa tes paper and  pencil, tes identifikasi, tes simulasi, dan tes unjuk kerja.
1.      Tes simulasi
Penilaian aspek perbuatan yang dilakukan melalui tes ini, jika tidak ada alat yang sesungguhnya yang dapat dipakai untuk memperagakan penampilan peserta didik, sehingga  peserta didik dapat dinilai tentang penguasaan keterampilan dengan bantuan peralatan tiruan atau berperaga seolah-olah  menggunakan suatu alat yang sebenarnya.
2.      Tes unjuk kerja (work sample)
Penilaian aspek perbuatan yang dilakukan melalui tes ini, dilakukan dengan  sesungguhnya dan tujuannya untuk mengetahui apakah peserta didik sudah menguasai/terampil menggunakan alat tersebut. Misalnya dalam melakukan praktik pengaturan lalu lintas lalu lintas di lapangan yang sebenarnya
Tes simulasi dan tes unjuk kerja, semuanya dapat diperoleh dengan observasi langsung ketika peserta didik melakukan kegiatan pembelajaran. Lembar observasi dapat menggunakan   daftar cek (check-list) ataupun  skala penilaian (rating scale).  Keterampilan atau perbuatan yang diukur dapat menggunakan alat ukur berupa skala penilaian terentang dari  sangat baik, baik, kurang, kurang, dan tidak baik.
Contoh Lembar observasi
Beri Tanda (√)
Nama Siswa
Mengerjakan Tugas (On-Task)
Tidak Mengerjakan Tugas (Off-Task)
Catatan Guru
Damar



Ayu



Dst…..



Contoh tabel Instrumen (alat) Asesmen Kinerja (unjuk kerja) Berpidato dengan numerical Rating Scale
Nama : …………………………………………….
Kelas : …………………………………………….
Petunjuk:
Berilah skor untuk setiap aspek kinerja yang sesuai dengan ketentuan berikut:
(4) bila aspek tersebut dilakukan dengan benar dan cepat
(3) bila aspek tersebut dilakaukan dengan benar tapi lama
(2) bila aspek tersebut dilakukan selesai tetapi salah
(1) bila dilakukan tapi tidak selesai
( 0 = tidak ada usaha)
No
Aspek yang dinilai
Skor
4
3
2
1
1.
Berdiri tegak menghadap penonton




2.
Mengubah ekspresi wajah sesuai dengan pernyataan




3.
Berbicara dengan kata-kata yang jelas




4.
Tidak mengulang-ulang pernyataan




5.
Berbicara cukup keras untuk didengar penonton





BAB III
PENUTUP
I.       Kesimpulan
Dari penjelasan makalah di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa:
1.      Penilaian merupakan suatu kegiatan yang memiliki tahapan tertentu (berproses : mekanisme, prosedur, dan instrument yang digunakan), dengan mengetengahkan pengumpulan dan pengolahan akan berbagai informasi. Penilaian dapat diberikan berdasarkan aspek pemahaman yang diperoleh, afektif atau perasaan positif yang timbul, serta aspek perbuatan peserta didik.
2.      Instrument yang dapat digunakan untuk aspek pemahaman (action) adalah tes seperti tes kecerdasan, tes bakat, tes diagnostic. Selain teknik tes, juga dapat menggunakan teknik non tes seperti: observasi, wawancara dan catatan anekdot.
3.      Instrument yang dapat digunakan untuk aspek afektif (comfort) adalah:
a.       Instrumen sikap,
b.      Instrumen minat,
c.       Instrumen konsep diri,
d.      Instrumen nilai,
e.       Instrumen moral,
Selain itu, pada aspek afektif ini, kita juga dapat menggunakan instrument non tes seperti obsevasi, wawancara, dan questioner.
4.      Instrument yang dapat digunakan untuk aspek perbuatan adalah observasi, sedangkan instrument tes yang dapat digunakan seperti tes simulasi dan tes unjuk kerja.
II.    Saran
Makalah ini dapat digunakan sebagai bahan perkuliahan dan paduan dalam melakukan penilaian dalam aspek pemahaman, afektif dan perbuatan. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
Sukardi, Dewa Ketut. 2008. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta; Rineka Cipta.
Prayitno. 2000. Panduan Umum: Penilaian Hasil Layanan Bimbingan dan Konseling. Pengurus IPBI.
Prayitno. 2005. Kerangka Konseling Eklektik: Konseling Pancawaskita. Padang; Program PPK jurusan BK FIP-UNP.
Aby Farhan. 2011. Aspek-Aspek Pemahaman Peserta Didik. 20 juli 2011. http://abyfarhan7.blogspot.com.